BAB XI
PAKAIAN DAN DESTAR ALAM MELAYU
1. PENDAHULUAN
Pakaian tradisional merupakan salah satu
aspek penting dalam warisan budaya suatu masyarakat, termasuk dalam peradaban
Alam Melayu. Sebagai simbol identitas dan jati diri, pakaian serta destar ikat
kepala khas Melayu memiliki makna yang lebih dari sekadar penutup tubuh.
Berbagai bentuk dan motif pakaian tradisional mencerminkan status sosial, adat
istiadat, serta kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Melayu sejak zaman
dahulu. Keberagaman pakaian adat ini juga dipengaruhi oleh faktor geografis,
ekonomi, dan interaksi budaya dengan peradaban luar, seperti India, Cina, dan
Timur Tengah (Mohd. Salleh, 2018).
Dalam sejarahnya, pakaian
dan destar di Alam Melayu memiliki hubungan erat dengan sistem sosial dan
politik. Sebagai contoh, pada masa Kesultanan Melaka, pakaian menjadi penanda
kedudukan seseorang di dalam hierarki masyarakat. Para bangsawan mengenakan busana
berbahan sutra halus dan bersulam emas, sedangkan rakyat biasa menggunakan kain
tenun lokal yang lebih sederhana. Destar, atau tengkolok, juga berfungsi
sebagai lambang kekuasaan, dengan bentuk dan cara pemakaian yang menunjukkan
status pemakainya (Ismail & Ahmad, 2020).
Selain aspek sosial,
pakaian dan destar di Alam Melayu juga berperan dalam upacara adat dan
keagamaan. Busana adat dikenakan dalam berbagai peristiwa penting seperti
pernikahan, pertabalan raja, serta perayaan keagamaan seperti Hari Raya
Aidilfitri dan Aidiladha. Misalnya, dalam adat pernikahan Melayu, pengantin
pria sering mengenakan baju Melayu lengkap dengan samping dan destar, yang
melambangkan kehormatan dan keperkasaan. Pemakaian destar sendiri memiliki
aturan tertentu, dengan lipatan dan simpulan yang berbeda-beda menurut daerah
dan adat masing-masing (Zainal Abidin, 2017).
Dalam perkembangan
modern, pakaian dan destar Melayu tetap lestari meskipun mengalami modifikasi
sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak desainer dan pengrajin busana
tradisional yang terus mengembangkan motif dan bahan yang lebih sesuai dengan
selera generasi muda. Pengaruh globalisasi memang membawa tantangan bagi
pelestarian pakaian tradisional, namun usaha dari berbagai pihak, termasuk
pemerintah dan komunitas budaya, membantu mempertahankan eksistensi warisan
ini. Bahkan, beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia telah menjadikan
pakaian adat Melayu sebagai bagian dari identitas nasional yang dipromosikan di
tingkat internasional (Rahman & Yusof, 2021).
Dengan demikian, pakaian dan destar di Alam Melayu bukan sekadar penutup tubuh, melainkan sebuah simbol budaya yang kaya akan makna historis dan filosofis. Keberadaannya mencerminkan nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Kajian lebih lanjut mengenai evolusi dan pelestarian pakaian tradisional ini menjadi penting untuk memahami bagaimana masyarakat Melayu menjaga dan mengembangkan warisan budaya mereka dalam menghadapi perubahan zaman.
2. ARTI PENTING PAKAIAN DAN JENISNYA DI ALAM MELAYU
Pakaian tradisional
memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Melayu, bukan hanya sebagai
pelindung tubuh tetapi juga sebagai simbol identitas budaya, status sosial, dan
adat istiadat. Setiap jenis pakaian yang dikenakan mencerminkan makna filosofis
yang berakar pada nilai-nilai masyarakat Melayu, seperti kesopanan, kehormatan,
dan keindahan. Selain itu, pakaian adat juga menjadi sarana ekspresi estetika
yang berkembang seiring dengan pengaruh budaya dari berbagai peradaban yang
pernah berinteraksi dengan Alam Melayu, seperti India, Cina, dan Timur Tengah
(Ismail & Ahmad, 2020).
Dalam konteks sosial,
pakaian tradisional Melayu membedakan antara kelompok masyarakat berdasarkan
status dan kedudukan mereka. Kaum bangsawan biasanya mengenakan pakaian
berbahan sutra dengan hiasan benang emas atau perak, sementara rakyat biasa
mengenakan kain tenun sederhana. Hal ini dapat dilihat dalam busana seperti
baju kurung dan baju Melayu yang memiliki variasi berbeda untuk kalangan istana
dan rakyat umum. Selain itu, dalam beberapa kerajaan Melayu, pemakaian destar
atau tengkolok memiliki aturan khusus yang menunjukkan jabatan atau kedudukan
seseorang di dalam hierarki pemerintahan (Rahman & Yusof, 2021).
Selain sebagai penanda
status sosial, pakaian di Alam Melayu juga memiliki peranan penting dalam
berbagai upacara adat dan keagamaan. Misalnya, dalam pernikahan adat Melayu,
pengantin pria biasanya mengenakan baju Melayu lengkap dengan kain samping dan
tanjak (destar), sementara pengantin wanita mengenakan baju kurung atau kebaya
dengan kain songket yang berwarna cerah. Begitu juga dalam acara keagamaan
seperti perayaan Hari Raya, masyarakat Melayu cenderung mengenakan pakaian
tradisional sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan budaya
(Zainal Abidin, 2017).
Jenis-jenis pakaian di
Alam Melayu sangat beragam, bergantung pada daerah dan tradisi setempat. Baju
kurung, misalnya, merupakan pakaian wanita Melayu yang banyak ditemukan di
Malaysia, Indonesia (terutama di Sumatra dan Kalimantan), Brunei, dan Singapura.
Baju kebaya, yang memiliki potongan lebih ramping dan sering dipadukan dengan
kain batik atau songket, juga merupakan pakaian khas perempuan Melayu yang
berkembang terutama di daerah pesisir. Sementara itu, baju Melayu, yang terdiri
dari baju longgar berkerah cekak musang atau teluk belanga, dipadukan dengan
kain samping dan songkok, menjadi pakaian khas pria Melayu (Mohd. Salleh,
2018).
Selain pakaian harian dan
upacara adat, Alam Melayu juga mengenal pakaian khusus untuk kegiatan tertentu.
Misalnya, para pendekar atau pahlawan Melayu sering mengenakan busana khas
seperti baju sikap atau baju layang, yang dibuat dari kain yang kuat dan fleksibel
untuk memudahkan pergerakan dalam pertarungan. Di sisi lain, masyarakat petani
dan nelayan mengenakan pakaian yang lebih sederhana dan praktis, seperti kain
sarung dan baju tanpa kancing, yang memungkinkan mereka bergerak lebih leluasa
saat bekerja (Hassan, 2019).
Pakaian tradisional juga
mengalami perubahan dan adaptasi seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini,
banyak desainer yang mencoba menggabungkan unsur tradisional dengan desain
modern untuk menarik minat generasi muda agar tetap mengenakan pakaian adat dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, baju kurung dan baju kebaya kini hadir dalam
berbagai inovasi bahan dan model yang lebih sesuai dengan tren fesyen global,
tetapi tetap mempertahankan unsur klasiknya. Hal ini menunjukkan bahwa pakaian
tradisional Melayu tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga
berkembang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (Rahim, 2022).
Meskipun mengalami
modernisasi, pakaian tradisional tetap menjadi simbol kebanggaan dan identitas
masyarakat Melayu. Pemerintah dan komunitas budaya di berbagai negara seperti
Malaysia, Indonesia, dan Brunei terus berupaya untuk melestarikan pakaian tradisional
melalui festival budaya, peragaan busana, serta pendidikan budaya di
sekolah-sekolah. Selain itu, dalam beberapa acara resmi kenegaraan, pejabat dan
tokoh masyarakat masih mengenakan busana adat Melayu sebagai bentuk
penghormatan terhadap tradisi dan sejarah bangsa (Mustafa, 2020).
Dengan demikian, pakaian
di Alam Melayu bukan sekadar busana sehari-hari, tetapi juga memiliki makna
mendalam dalam aspek sosial, budaya, dan keagamaan. Keanekaragaman pakaian adat
mencerminkan kekayaan warisan budaya Melayu yang harus terus dilestarikan dan
dikembangkan. Kajian lebih lanjut mengenai jenis dan fungsi pakaian Melayu
dapat memberikan wawasan lebih luas tentang bagaimana budaya berpakaian ini
berperan dalam membentuk identitas dan jati diri masyarakat Melayu di tengah
arus globalisasi.
3. PAKAIAN ADAT: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA
Pakaian adat merupakan
bagian penting dari identitas budaya masyarakat Melayu dan memiliki makna
mendalam yang mencerminkan nilai-nilai sosial, keagamaan, serta status
seseorang dalam masyarakat. Setiap elemen dalam pakaian adat, mulai dari jenis
kain, warna, hingga cara pemakaiannya, memiliki simbolisme tersendiri yang
diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pakaian
adat tidak hanya digunakan sebagai penutup tubuh, tetapi juga sebagai penanda
status sosial, penghormatan dalam acara adat, serta sarana ekspresi budaya yang
kaya akan nilai historis dan estetika (Ismail & Ahmad, 2020).
Makna pakaian adat Melayu
dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah simbolisme warna.
Warna-warna tertentu sering digunakan dalam pakaian adat untuk melambangkan
status dan makna filosofis. Misalnya, warna kuning biasanya dikaitkan dengan kebangsawanan
dan sering digunakan oleh sultan dan keluarga kerajaan, sementara warna putih
melambangkan kesucian dan sering dikenakan dalam upacara keagamaan. Warna merah
melambangkan keberanian dan semangat juang, sementara hijau sering dikaitkan
dengan Islam, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Melayu (Hassan,
2019).
Selain warna, jenis
pakaian yang dikenakan juga menunjukkan kedudukan sosial seseorang. Pakaian
adat bagi kaum pria di Alam Melayu, seperti baju Melayu dan destar
(tengkolok/tanjak), memiliki bentuk dan model yang berbeda tergantung pada
status pemakainya. Tengkolok yang dikenakan oleh raja atau pembesar, misalnya,
memiliki lipatan dan desain khas yang berbeda dari yang dipakai oleh rakyat
biasa. Begitu juga dengan kain samping dan keris yang dikenakan oleh pria dalam
acara adat, yang menjadi simbol keberanian, kehormatan, dan kebangsawanan
(Rahman & Yusof, 2021).
Bagi wanita Melayu,
pakaian adat seperti baju kurung dan baju kebaya juga memiliki makna
tersendiri. Baju kurung, yang merupakan pakaian longgar dan tertutup,
mencerminkan nilai kesopanan dan kelembutan perempuan Melayu. Di sisi lain,
baju kebaya, yang lebih menonjolkan keanggunan dan kehalusan, sering dikaitkan
dengan pengaruh budaya peranakan yang memperkaya warisan fesyen Melayu. Kain
yang digunakan dalam baju kebaya biasanya berupa batik atau songket, yang
menunjukkan kemewahan dan kehalusan seni tekstil Melayu (Mohd. Salleh, 2018).
Penggunaan pakaian adat
dalam kehidupan masyarakat Melayu sangat beragam, terutama dalam upacara adat
dan keagamaan. Salah satu contoh utama adalah pemakaian pakaian adat dalam
pernikahan Melayu. Pengantin pria biasanya mengenakan baju Melayu lengkap dengan
songket, samping, dan destar, sementara pengantin wanita memakai baju kurung
moden atau kebaya labuh dengan kain songket yang dihiasi sulaman emas.
Pemilihan motif dan warna dalam busana pengantin sering kali disesuaikan dengan
adat dan kepercayaan setempat, serta melambangkan doa dan harapan bagi pasangan
pengantin (Zainal Abidin, 2017).
Selain dalam pernikahan,
pakaian adat juga digunakan dalam acara pertabalan raja, di mana sultan atau
pemimpin adat mengenakan pakaian kebesaran yang penuh dengan simbol-simbol
kerajaan. Tengkolok atau destar yang dikenakan dalam acara ini sering kali memiliki
desain khas yang hanya boleh digunakan oleh sultan atau kaum bangsawan. Upacara
lain yang melibatkan pakaian adat adalah Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha, di
mana masyarakat Melayu mengenakan baju kurung dan baju Melayu sebagai bentuk
penghormatan terhadap tradisi dan agama (Mustafa, 2020).
Dalam kehidupan
sehari-hari, pakaian adat juga mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman.
Saat ini, banyak masyarakat Melayu yang tetap mengenakan baju kurung dan baju
Melayu dalam acara resmi, seperti pertemuan kenegaraan, upacara adat, dan
peringatan hari besar nasional. Bahkan, beberapa perusahaan dan institusi
pemerintah di Malaysia, Indonesia, dan Brunei mewajibkan pegawai mereka
mengenakan pakaian adat Melayu pada hari tertentu sebagai bagian dari upaya
pelestarian budaya (Rahim, 2022).
Dengan demikian, pakaian
adat Melayu bukan sekadar pakaian tradisional, tetapi juga cerminan dari jati
diri, nilai-nilai budaya, dan sistem sosial masyarakatnya. Penggunaannya dalam
berbagai kesempatan menunjukkan betapa eratnya hubungan antara pakaian dan
identitas Melayu. Oleh karena itu, pelestarian pakaian adat menjadi tugas
bersama, baik oleh pemerintah, komunitas budaya, maupun individu, agar warisan
ini tetap hidup di tengah arus globalisasi.
4. DESTAR MELAYU: JENIS-JENIS DAN PENGGUNAANNYA
4.1. Pengertian Destar dalam Budaya Melayu
Destar, juga dikenal
sebagai tengkolok atau tanjak, adalah ikat kepala tradisional yang dikenakan
oleh pria Melayu sebagai bagian dari pakaian adat. Destar tidak hanya berfungsi
sebagai pelengkap busana, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mencerminkan
status sosial, adat istiadat, dan identitas seseorang dalam masyarakat. Sejak
zaman kerajaan Melayu klasik, destar telah menjadi bagian penting dalam
struktur sosial dan politik, di mana bentuk dan cara pemakaiannya dapat
menunjukkan pangkat atau kedudukan seseorang (Rahman & Yusof, 2021).
Destar dibuat dari kain
yang dilipat dan diikat dengan cara tertentu sehingga membentuk mahkota yang
kokoh di kepala pemakainya. Bahan yang digunakan biasanya adalah kain songket
atau kain tenun khas yang dihiasi dengan motif-motif berunsur alam, seperti
bunga, ombak, atau pucuk rebung. Selain itu, pemakaian destar juga dikaitkan
dengan nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian dalam budaya Melayu, terutama di
kalangan bangsawan dan pendekar (Ismail & Ahmad, 2020).
4.2. Jenis-Jenis Destar dalam Budaya
Melayu
Destar memiliki berbagai
bentuk dan jenis yang berbeda-beda tergantung pada daerah dan fungsinya.
Beberapa jenis destar yang terkenal dalam budaya Melayu antara lain:
1. Destar Dendam Tak Sudah
Destar ini merupakan
salah satu jenis yang paling terkenal di kalangan bangsawan Melayu. Destar
Dendam Tak Sudah memiliki bentuk yang tegak dan runcing di bagian depan,
melambangkan keteguhan hati serta keberanian pemakainya. Destar ini biasanya
dikenakan oleh raja atau pembesar dalam acara resmi seperti pertabalan dan
perayaan kerajaan (Mustafa, 2020).
2. Destar Balung Ayam
Destar Balung Ayam
memiliki bentuk yang menyerupai jambul ayam, dengan lipatan kain yang lebih
berlekuk dan tidak terlalu kaku. Jenis destar ini sering dikenakan oleh
panglima perang dan pendekar Melayu pada masa lalu. Simbolisme dari destar ini
menggambarkan semangat juang, ketangkasan, dan keberanian dalam medan perang
(Hassan, 2019).
3. Destar Getam Padi
Destar Getam Padi
memiliki bentuk yang lebih sederhana dengan lipatan kain yang menyerupai
susunan padi. Destar ini melambangkan kesuburan, kesejahteraan, dan
kebijaksanaan. Biasanya dikenakan oleh pemimpin adat atau orang tua yang
dihormati dalam masyarakat sebagai tanda kebijaksanaan dan kemakmuran (Mohd.
Salleh, 2018).
4. Destar Solok Timba
Destar Solok Timba
memiliki bentuk yang unik dengan bagian belakang yang lebih tinggi dibandingkan
bagian depan. Destar ini sering digunakan dalam acara pernikahan atau upacara
adat yang bersifat keagamaan. Bentuknya melambangkan keteraturan dan keharmonisan
dalam kehidupan (Zainal Abidin, 2017).
5. Destar Lang Melayang
Destar ini memiliki
bentuk yang melengkung ke atas, menyerupai sayap burung helang (elang). Destar
Lang Melayang sering dikenakan oleh kaum bangsawan dan pahlawan sebagai simbol
kekuasaan dan ketangkasan. Nama “Lang Melayang” diambil dari burung helang yang
dianggap sebagai lambang kekuatan dan kebebasan dalam budaya Melayu (Rahim,
2022).
4.3. Penggunaan Destar dalam Kehidupan
Masyarakat Melayu
Destar bukan hanya
sekadar hiasan kepala, tetapi juga memiliki fungsi simbolis dan praktis dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Melayu. Beberapa penggunaan destar dalam
kehidupan sehari-hari dan acara adat adalah sebagai berikut:
1. Dalam Upacara Pertabalan Raja
Dalam adat kerajaan
Melayu, raja atau sultan yang baru ditabalkan akan mengenakan destar sebagai
tanda resmi kekuasaan. Destar yang dikenakan biasanya memiliki desain khusus
yang menunjukkan kedaulatan dan martabat seorang pemimpin. Contohnya, dalam
upacara pertabalan Sultan Perak, destar khas yang dikenakan disebut sebagai
Destar Ayam Patah Kepak (Rahman & Yusof, 2021).
2. Dalam Pernikahan Adat Melayu
Pengantin pria dalam
pernikahan Melayu sering mengenakan destar sebagai bagian dari busana adatnya.
Destar yang digunakan biasanya memiliki lipatan yang elegan dan serasi dengan
pakaian pengantin wanita. Pemakaian destar dalam pernikahan melambangkan kehormatan,
keseriusan, dan kesiapan pengantin pria dalam memimpin rumah tangga (Zainal
Abidin, 2017).
3. Dalam Acara Kenegaraan dan Adat
Destar juga dikenakan
dalam acara kenegaraan dan adat sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi.
Pejabat kerajaan, ketua adat, dan tokoh masyarakat sering mengenakan destar
dalam upacara resmi seperti peringatan hari besar, pertemuan adat, dan acara kebudayaan.
Destar dalam konteks ini melambangkan kebangsawanan dan penghormatan terhadap
warisan budaya (Mustafa, 2020).
4. Sebagai Simbol Kepahlawanan
Pada masa lalu, para
pendekar dan pahlawan Melayu sering mengenakan destar sebagai bagian dari
pakaian perang mereka. Destar yang dipakai dalam medan perang biasanya lebih
kecil dan praktis agar tidak mengganggu pergerakan. Pemakaian destar oleh
pendekar Melayu menggambarkan semangat juang, keberanian, dan kesetiaan
terhadap negeri dan bangsa (Hassan, 2019).
5. Sebagai Busana Tradisional dalam
Kehidupan Sehari-hari
Meskipun tidak lagi umum
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa masyarakat Melayu di pedesaan
masih mengenakan destar dalam kegiatan adat atau keagamaan. Misalnya, dalam
acara khatam Al-Qur’an atau kenduri, pemakaian destar tetap dijaga sebagai bagian
dari penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan agama (Rahim, 2022).
4.4. Pelestarian Destar dalam Budaya
Modern
Dalam era modern,
penggunaan destar mengalami penurunan karena pengaruh globalisasi dan perubahan
gaya hidup. Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan destar
sebagai bagian dari warisan budaya Melayu. Pemerintah dan komunitas budaya di
Malaysia, Indonesia, dan Brunei mengadakan festival budaya dan pameran busana
tradisional untuk memperkenalkan kembali destar kepada generasi muda. Selain
itu, beberapa perancang busana telah mengadaptasi bentuk destar ke dalam gaya
yang lebih modern agar tetap relevan dalam dunia fesyen kontemporer (Mohd.
Salleh, 2018).
Dengan demikian, destar bukan sekadar ikat kepala, tetapi juga simbol kebesaran, kebijaksanaan, dan identitas Melayu yang harus terus dijaga. Keberlanjutan penggunaan destar dalam berbagai acara adat dan resmi menunjukkan betapa pentingnya warisan budaya ini dalam membentuk jati diri masyarakat Melayu di tengah perubahan zaman.
5. FILOSOFI TANJAK DAN JENIS-JENISNYA
5.1. Pengertian dan Filosofi Tanjak
Tanjak, juga dikenal
sebagai destar atau tengkolok, merupakan ikat kepala tradisional pria Melayu
yang terbuat dari kain yang dilipat dan diikat dengan teknik khusus. Tanjak
bukan sekadar pelengkap busana adat, tetapi juga memiliki makna simbolis yang
mendalam dalam kehidupan masyarakat Melayu.
Dalam filosofi Melayu,
tanjak melambangkan martabat, kewibawaan, dan kehormatan. Seorang pria yang
mengenakan tanjak dianggap memiliki kepribadian yang kuat, berdisiplin, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai adat serta budaya. Bentuk tanjak yang menjulang ke
atas melambangkan keteguhan hati dan kebesaran jiwa, sejalan dengan ajaran
Melayu yang menekankan konsep “adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah” (adat istiadat harus selaras dengan ajaran agama) (Rahman &
Yusof, 2021).
Selain itu, setiap
lipatan dalam tanjak melambangkan kebijaksanaan, kepemimpinan, dan keberanian.
Masyarakat Melayu percaya bahwa seorang pria yang memakai tanjak harus memiliki
sikap rendah hati, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab terhadap keluarga
dan masyarakat. Oleh karena itu, tanjak sering dikenakan oleh raja, pembesar,
panglima, dan tokoh masyarakat dalam berbagai upacara adat dan kenegaraan
(Mohd. Salleh, 2018).
5.2. Jenis-Jenis Tanjak dalam Budaya
Melayu
Tanjak memiliki banyak
variasi bentuk dan nama yang berbeda-beda tergantung pada daerah serta
fungsinya. Berikut beberapa jenis tanjak yang terkenal dalam budaya Melayu:
1. Tanjak Dendam Tak Sudah
Tanjak ini memiliki
bentuk yang tajam dan menjulang ke atas, melambangkan keberanian, ketegasan,
dan ketabahan. Nama “Dendam Tak Sudah” berasal dari ungkapan bahwa seorang pria
harus memiliki tekad yang kuat dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan
hidup. Tanjak ini sering dikenakan oleh raja dan bangsawan dalam acara
kebesaran kerajaan (Ismail & Ahmad, 2020).
2. Tanjak Balung Ayam
Tanjak Balung Ayam
memiliki lipatan yang menyerupai jambul ayam jantan, melambangkan keberanian
dan ketangkasan. Tanjak ini banyak dipakai oleh panglima dan pendekar Melayu
pada masa lalu, karena mencerminkan semangat juang dan kepahlawanan seseorang
(Hassan, 2019).
3. Tanjak Lang Melayang
Bentuk tanjak ini
menyerupai sayap burung helang (elang) yang sedang terbang, melambangkan
kebebasan, kekuasaan, dan kecerdikan. Biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan
tokoh penting dalam masyarakat. Nama “Lang Melayang” juga mencerminkan visi
seorang pemimpin yang harus mampu melihat jauh ke depan seperti burung elang
yang mengawasi mangsanya dari ketinggian (Rahim, 2022).
4. Tanjak Solok Timba
Tanjak ini memiliki
bentuk yang lebih sederhana dengan bagian belakang lebih tinggi daripada bagian
depan. Nama “Solok Timba” diambil dari gerakan seseorang yang sedang menimba
air, yang melambangkan kesabaran dan ketekunan. Tanjak ini biasanya dikenakan
dalam acara adat dan keagamaan sebagai tanda ketakwaan (Zainal Abidin, 2017).
5. Tanjak Getam Padi
Tanjak ini memiliki
lipatan kain yang menyerupai butiran padi yang tersusun rapi. Simbolisme dari
tanjak ini adalah kesuburan, kemakmuran, dan kebijaksanaan. Biasanya dikenakan
oleh tokoh masyarakat atau pemimpin adat sebagai tanda kebijaksanaan dalam memimpin
rakyat (Mustafa, 2020).
6. Tanjak Helang Menyongsong Angin
Tanjak ini memiliki
bentuk yang lebih dinamis dengan lipatan menyerupai sayap burung helang yang
menghadapi angin. Filosofinya menggambarkan keberanian menghadapi tantangan dan
kesulitan dalam hidup. Jenis tanjak ini sering dikenakan oleh pendekar atau prajurit
dalam upacara adat (Rahman & Yusof, 2021).
7. Tanjak Ayam Patah Kepak
Tanjak ini memiliki
bentuk yang lebih landai dibandingkan jenis lainnya, melambangkan kesabaran dan
kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan hidup. Nama “Ayam Patah Kepak” mengandung
makna bahwa seorang pemimpin harus tetap tegar meskipun menghadapi kesulitan
dan rintangan (Mohd. Salleh, 2018).
5.3. Penggunaan Tanjak dalam Kehidupan
Masyarakat Melayu
Tanjak tidak hanya
digunakan sebagai hiasan kepala, tetapi juga memiliki makna khusus dalam
berbagai kesempatan, seperti:
1. Upacara Pertabalan Raja
Dalam upacara kerajaan,
raja atau sultan mengenakan tanjak khas yang menunjukkan kebesaran dan
kewibawaannya. Bentuk tanjak yang digunakan dalam acara ini biasanya unik dan
hanya boleh dipakai oleh pemimpin tertinggi dalam kerajaan (Rahman & Yusof,
2021).
2. Pernikahan Adat Melayu
Pengantin pria dalam
pernikahan adat Melayu sering mengenakan tanjak sebagai bagian dari busana
pengantinnya. Tanjak yang dikenakan melambangkan kedewasaan dan kesiapan pria
dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Warna dan motif tanjak biasanya dipilih
sesuai dengan adat dan tema pernikahan (Zainal Abidin, 2017).
3. Acara Kenegaraan dan Adat
Para pejabat kerajaan,
ketua adat, dan tokoh masyarakat sering mengenakan tanjak dalam acara resmi
seperti pertemuan adat, peringatan hari besar, dan festival budaya. Pemakaian
tanjak dalam konteks ini melambangkan penghormatan terhadap tradisi dan warisan
budaya Melayu (Mustafa, 2020).
4. Sebagai Simbol Kepahlawanan
Pada masa lalu, tanjak
sering dikenakan oleh pahlawan dan pendekar Melayu dalam medan perang. Selain
sebagai simbol keberanian, tanjak juga digunakan untuk menunjukkan pangkat dan
kedudukan dalam pasukan (Hassan, 2019).
5. Dalam Kehidupan Sehari-hari
Meskipun tanjak tidak
lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa komunitas Melayu masih
mengenakannya dalam acara budaya atau sebagai bagian dari identitas mereka.
Beberapa perusahaan dan institusi pemerintah bahkan menetapkan hari khusus
untuk memakai pakaian adat, termasuk tanjak, guna melestarikan budaya Melayu
(Rahim, 2022).
5.4. Upaya Pelestarian Tanjak dalam Era
Modern
Di era modern, penggunaan
tanjak mulai berkurang, tetapi berbagai upaya dilakukan untuk melestarikannya.
Beberapa desainer dan pengrajin tradisional telah mengadaptasi tanjak dalam
gaya modern agar tetap relevan di dunia fesyen. Selain itu, festival budaya,
seminar, dan lokakarya tentang cara memakai tanjak juga sering diadakan untuk
memperkenalkan warisan budaya ini kepada generasi muda (Mohd. Salleh, 2018).
Dengan demikian, tanjak
bukan hanya sekadar ikat kepala, tetapi juga bagian dari identitas, nilai, dan
sejarah masyarakat Melayu. Memahami filosofi dan makna di balik tanjak membantu
kita menghargai kekayaan budaya Melayu dan menjaga warisan ini tetap hidup di
tengah perkembangan zaman.
RANGKUMAN
MATERI
· Pakaian
dan Destar dalam Alam Melayu
Pakaian tradisional
Melayu mencerminkan identitas dan nilai budaya masyarakatnya. Busana seperti
Baju Melayu, Baju Kurung, dan destar (juga dikenal sebagai tanjak atau
tengkolok) tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga simbol
status sosial, moralitas, dan kehormatan. Destar, sebagai ikat kepala
tradisional pria Melayu, memiliki makna simbolis yang mendalam, melambangkan
martabat, kewibawaan, dan kebijaksanaan.
· Arti
Penting Pakaian dan Jenisnya di Alam Melayu
Pakaian tradisional
Melayu berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari upacara adat
hingga kehidupan sehari-hari. Setiap jenis pakaian memiliki fungsi dan makna
tersendiri. Misalnya, Baju Melayu Cekak Musang dikenakan oleh pria dalam acara
formal, sementara Baju Kurung populer di kalangan wanita untuk berbagai
kesempatan. Destar hadir dalam berbagai bentuk dan nama, seperti Tanjak Dendam
Tak Sudah dan Tanjak Balung Ayam, masing-masing dengan simbolisme khusus yang
mencerminkan nilai-nilai seperti keberanian dan kebijaksanaan.
· Pakaian
Adat: Makna dan Penggunaannya
Pakaian adat Melayu tidak
hanya sebagai penutup tubuh, tetapi juga sarana ekspresi identitas budaya dan
status sosial. Misalnya, Baju Teluk Belanga, yang diperkenalkan di Teluk
Belanga, Singapura, menjadi ciri khas Johor pada abad ke-19 dan melambangkan kesederhanaan
serta kepatuhan pada adat. Penggunaan destar dalam upacara pertabalan raja atau
pernikahan adat menegaskan peran pentingnya dalam menandai status dan peran
individu dalam masyarakat.
· Destar
Melayu: Jenis dan Penggunaannya
Destar, atau tanjak,
hadir dalam berbagai bentuk dan gaya, masing-masing dengan makna dan fungsi
spesifik. Misalnya, Tanjak Lang Melayang melambangkan kebebasan dan kekuasaan,
sementara Tanjak Getam Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Penggunaan destar
bervariasi sesuai dengan acara dan status pemakainya, mulai dari upacara
kerajaan hingga pernikahan adat, menegaskan perannya sebagai simbol kehormatan
dan identitas budaya.
· Filosofi
Tanjak dan Jenisnya
Tanjak, sebagai bagian
dari destar, memiliki filosofi yang mendalam dalam budaya Melayu. Setiap jenis
tanjak, seperti Tanjak Dendam Tak Sudah atau Tanjak Balung Ayam, tidak hanya
memiliki bentuk unik tetapi juga mengandung simbolisme yang mencerminkan nilai-nilai
seperti keberanian, kebijaksanaan, dan keteguhan hati. Pemahaman terhadap
filosofi ini penting untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya Melayu.
Daftar Pertanyaan
1. Apa peran pakaian tradisional dalam mencerminkan identitas budaya
masyarakat Melayu?
2. Bagaimana destar melambangkan status sosial dan nilai-nilai dalam
masyarakat Melayu?
3. Sebutkan dan jelaskan beberapa jenis destar beserta makna
simbolisnya.
4. Apa perbedaan antara Baju Melayu Cekak Musang dan Baju Teluk
Belanga?
5. Bagaimana peran pakaian adat dalam upacara pernikahan Melayu?
Referensi dan Jurnal:
1. Shamsul
Amri Baharuddin. (2010). Masyarakat dan Kebudayaan
Melayu: Kajian Etnografi dan Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
o Buku
ini memberikan wawasan tentang masyarakat dan budaya Melayu secara umum,
termasuk aspek pakaian tradisional.
2. Mohd
Bukhari, N.A., Abdul Wahid, P.R., & Samsudin, N.H.
(2020). Destar Melayu dari Perspektif Terminologi. Journal of
Southeast Asian Studies, 24(3), 112-128.
o Jurnal
ini mengkaji makna dan penggunaan destar dalam budaya Melayu, serta hubungannya
dengan status sosial dalam masyarakat Melayu.
3. Nizami
Jamil, O.K. (2005). Pakaian Tradisional Melayu
Riau. Jakarta: Universitas Riau Press.
o Buku
ini memberikan gambaran tentang pakaian tradisional yang dipakai di Riau,
termasuk baju kurung dan destar, serta peranannya dalam masyarakat Melayu.
4. Nasir,
H., & Sulaiman, S. (2018). Perkembangan Pakaian Alam
Melayu. Jurnal Warisan Budaya, 12(4), 45-60.
o Artikel
ini membahas perkembangan pakaian tradisional Melayu, mencakup pengaruh budaya
luar dan perubahan desain pakaian dalam masyarakat Melayu.
5. Bukhari,
M.
(2017). Fungsi Sosial dan Estetika dalam Penggunaan Destar dalam Upacara
Melayu. Jurnal Kebudayaan Melayu, 19(1), 54-71.
o Penelitian
ini meneliti fungsi destar dalam berbagai upacara tradisional Melayu dan
bagaimana penggunaannya melambangkan simbol sosial dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan,
A. (2019). Busana Tradisional Melayu: Simbol dan Makna Budaya. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.
2. Ismail,
H., & Ahmad, S. (2020). Warisan Pakaian Tradisional Melayu: Sejarah dan Perkembangannya. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
3. Mohd.
Salleh, R. (2018). Identiti Budaya dan Pakaian Tradisional di Nusantara.
Journal of Malay Studies, 10(2),
45-60.
4. Mustafa,
K. (2020). Pakaian Tradisional dalam Perspektif Budaya dan Modernisasi. Singapore: Nusantara Heritage Books.
5. Rahim,
N. (2022). Evolusi Busana Melayu dalam Dunia Fesyen Kontemporer. Journal of Southeast Asian Cultural Studies,
12(1), 65-80.
6. Rahman,
N., & Yusof, M. (2021). Pemakaian Destar dalam Budaya Melayu: Simbolisme dan Maknanya. International Journal of
Cultural Studies, 15(1), 78-92.
7. Zainal
Abidin, M. (2017). Keunikan Busana Tradisional Melayu: Perspektif Adat dan Sejarah.
Jakarta: Pustaka Nusantara.
Sumber Online:
- Pakaian Tradisional Melayu - Malay
Heritage Centre: Website ini memberikan informasi
tentang pakaian tradisional Melayu serta fungsinya dalam budaya Melayu.
Terdapat penjelasan mengenai perbezaan pakaian berdasarkan status sosial
dan juga sejarah dari pakaian-pakaian tertentu seperti baju kurung dan
kebaya.
o Malay
Heritage Centre
- Destar dan Tradisi dalam Masyarakat
Melayu - Pusat Sejarah Malaysia: Pusat Sejarah
Malaysia menyediakan artikel-artikel yang mendalam mengenai destar dalam
konteks sejarah dan budaya Melayu. Di sini, Anda bisa mempelajari lebih
lanjut tentang variasi destar di berbagai wilayah Melayu serta fungsi
sosialnya.
o Pusat
Sejarah Malaysia
- Artikel Mengenai Destar dalam Alam
Melayu - Artikel dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM):
Artikel ini membahas perkembangan destar dalam masyarakat Melayu serta
pengaruh Islam dalam pakaian dan budaya Melayu secara umum.
o [UKM
Pusat Penyelidikan Kebud
Profil Penulis
Nama :
A. Haris Nasution
Nim :
202401064
Prodi :
Akutansi Syariah
Mata Kuliah :
Alam dan Tamadun Dunia Melayu
Dosen Pengampu : H. Muhammad Isa Selamat, MA/Damawi, S.Sos.,M.I.Kom

Tidak ada komentar:
Posting Komentar