Jumat, 21 Februari 2025

TUGAS MATA KULIAH ALAM DAN TAMADUN DUNIA MELAYU

BAB XI 

PAKAIAN DAN DESTAR ALAM MELAYU

1.  PENDAHULUAN

     Pakaian tradisional merupakan salah satu aspek penting dalam warisan budaya suatu masyarakat, termasuk dalam peradaban Alam Melayu. Sebagai simbol identitas dan jati diri, pakaian serta destar ikat kepala khas Melayu memiliki makna yang lebih dari sekadar penutup tubuh. Berbagai bentuk dan motif pakaian tradisional mencerminkan status sosial, adat istiadat, serta kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Keberagaman pakaian adat ini juga dipengaruhi oleh faktor geografis, ekonomi, dan interaksi budaya dengan peradaban luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah (Mohd. Salleh, 2018).

Dalam sejarahnya, pakaian dan destar di Alam Melayu memiliki hubungan erat dengan sistem sosial dan politik. Sebagai contoh, pada masa Kesultanan Melaka, pakaian menjadi penanda kedudukan seseorang di dalam hierarki masyarakat. Para bangsawan mengenakan busana berbahan sutra halus dan bersulam emas, sedangkan rakyat biasa menggunakan kain tenun lokal yang lebih sederhana. Destar, atau tengkolok, juga berfungsi sebagai lambang kekuasaan, dengan bentuk dan cara pemakaian yang menunjukkan status pemakainya (Ismail & Ahmad, 2020).

Selain aspek sosial, pakaian dan destar di Alam Melayu juga berperan dalam upacara adat dan keagamaan. Busana adat dikenakan dalam berbagai peristiwa penting seperti pernikahan, pertabalan raja, serta perayaan keagamaan seperti Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha. Misalnya, dalam adat pernikahan Melayu, pengantin pria sering mengenakan baju Melayu lengkap dengan samping dan destar, yang melambangkan kehormatan dan keperkasaan. Pemakaian destar sendiri memiliki aturan tertentu, dengan lipatan dan simpulan yang berbeda-beda menurut daerah dan adat masing-masing (Zainal Abidin, 2017).

Dalam perkembangan modern, pakaian dan destar Melayu tetap lestari meskipun mengalami modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak desainer dan pengrajin busana tradisional yang terus mengembangkan motif dan bahan yang lebih sesuai dengan selera generasi muda. Pengaruh globalisasi memang membawa tantangan bagi pelestarian pakaian tradisional, namun usaha dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan komunitas budaya, membantu mempertahankan eksistensi warisan ini. Bahkan, beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia telah menjadikan pakaian adat Melayu sebagai bagian dari identitas nasional yang dipromosikan di tingkat internasional (Rahman & Yusof, 2021).

Dengan demikian, pakaian dan destar di Alam Melayu bukan sekadar penutup tubuh, melainkan sebuah simbol budaya yang kaya akan makna historis dan filosofis. Keberadaannya mencerminkan nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Kajian lebih lanjut mengenai evolusi dan pelestarian pakaian tradisional ini menjadi penting untuk memahami bagaimana masyarakat Melayu menjaga dan mengembangkan warisan budaya mereka dalam menghadapi perubahan zaman. 

2. ARTI PENTING PAKAIAN DAN JENISNYA DI ALAM MELAYU

Pakaian tradisional memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Melayu, bukan hanya sebagai pelindung tubuh tetapi juga sebagai simbol identitas budaya, status sosial, dan adat istiadat. Setiap jenis pakaian yang dikenakan mencerminkan makna filosofis yang berakar pada nilai-nilai masyarakat Melayu, seperti kesopanan, kehormatan, dan keindahan. Selain itu, pakaian adat juga menjadi sarana ekspresi estetika yang berkembang seiring dengan pengaruh budaya dari berbagai peradaban yang pernah berinteraksi dengan Alam Melayu, seperti India, Cina, dan Timur Tengah (Ismail & Ahmad, 2020).

Dalam konteks sosial, pakaian tradisional Melayu membedakan antara kelompok masyarakat berdasarkan status dan kedudukan mereka. Kaum bangsawan biasanya mengenakan pakaian berbahan sutra dengan hiasan benang emas atau perak, sementara rakyat biasa mengenakan kain tenun sederhana. Hal ini dapat dilihat dalam busana seperti baju kurung dan baju Melayu yang memiliki variasi berbeda untuk kalangan istana dan rakyat umum. Selain itu, dalam beberapa kerajaan Melayu, pemakaian destar atau tengkolok memiliki aturan khusus yang menunjukkan jabatan atau kedudukan seseorang di dalam hierarki pemerintahan (Rahman & Yusof, 2021).

Selain sebagai penanda status sosial, pakaian di Alam Melayu juga memiliki peranan penting dalam berbagai upacara adat dan keagamaan. Misalnya, dalam pernikahan adat Melayu, pengantin pria biasanya mengenakan baju Melayu lengkap dengan kain samping dan tanjak (destar), sementara pengantin wanita mengenakan baju kurung atau kebaya dengan kain songket yang berwarna cerah. Begitu juga dalam acara keagamaan seperti perayaan Hari Raya, masyarakat Melayu cenderung mengenakan pakaian tradisional sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan budaya (Zainal Abidin, 2017).

Jenis-jenis pakaian di Alam Melayu sangat beragam, bergantung pada daerah dan tradisi setempat. Baju kurung, misalnya, merupakan pakaian wanita Melayu yang banyak ditemukan di Malaysia, Indonesia (terutama di Sumatra dan Kalimantan), Brunei, dan Singapura. Baju kebaya, yang memiliki potongan lebih ramping dan sering dipadukan dengan kain batik atau songket, juga merupakan pakaian khas perempuan Melayu yang berkembang terutama di daerah pesisir. Sementara itu, baju Melayu, yang terdiri dari baju longgar berkerah cekak musang atau teluk belanga, dipadukan dengan kain samping dan songkok, menjadi pakaian khas pria Melayu (Mohd. Salleh, 2018).

Selain pakaian harian dan upacara adat, Alam Melayu juga mengenal pakaian khusus untuk kegiatan tertentu. Misalnya, para pendekar atau pahlawan Melayu sering mengenakan busana khas seperti baju sikap atau baju layang, yang dibuat dari kain yang kuat dan fleksibel untuk memudahkan pergerakan dalam pertarungan. Di sisi lain, masyarakat petani dan nelayan mengenakan pakaian yang lebih sederhana dan praktis, seperti kain sarung dan baju tanpa kancing, yang memungkinkan mereka bergerak lebih leluasa saat bekerja (Hassan, 2019).

Pakaian tradisional juga mengalami perubahan dan adaptasi seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini, banyak desainer yang mencoba menggabungkan unsur tradisional dengan desain modern untuk menarik minat generasi muda agar tetap mengenakan pakaian adat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, baju kurung dan baju kebaya kini hadir dalam berbagai inovasi bahan dan model yang lebih sesuai dengan tren fesyen global, tetapi tetap mempertahankan unsur klasiknya. Hal ini menunjukkan bahwa pakaian tradisional Melayu tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga berkembang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (Rahim, 2022).

Meskipun mengalami modernisasi, pakaian tradisional tetap menjadi simbol kebanggaan dan identitas masyarakat Melayu. Pemerintah dan komunitas budaya di berbagai negara seperti Malaysia, Indonesia, dan Brunei terus berupaya untuk melestarikan pakaian tradisional melalui festival budaya, peragaan busana, serta pendidikan budaya di sekolah-sekolah. Selain itu, dalam beberapa acara resmi kenegaraan, pejabat dan tokoh masyarakat masih mengenakan busana adat Melayu sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan sejarah bangsa (Mustafa, 2020).

Dengan demikian, pakaian di Alam Melayu bukan sekadar busana sehari-hari, tetapi juga memiliki makna mendalam dalam aspek sosial, budaya, dan keagamaan. Keanekaragaman pakaian adat mencerminkan kekayaan warisan budaya Melayu yang harus terus dilestarikan dan dikembangkan. Kajian lebih lanjut mengenai jenis dan fungsi pakaian Melayu dapat memberikan wawasan lebih luas tentang bagaimana budaya berpakaian ini berperan dalam membentuk identitas dan jati diri masyarakat Melayu di tengah arus globalisasi.

3.  PAKAIAN ADAT: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA

Pakaian adat merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat Melayu dan memiliki makna mendalam yang mencerminkan nilai-nilai sosial, keagamaan, serta status seseorang dalam masyarakat. Setiap elemen dalam pakaian adat, mulai dari jenis kain, warna, hingga cara pemakaiannya, memiliki simbolisme tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pakaian adat tidak hanya digunakan sebagai penutup tubuh, tetapi juga sebagai penanda status sosial, penghormatan dalam acara adat, serta sarana ekspresi budaya yang kaya akan nilai historis dan estetika (Ismail & Ahmad, 2020).

Makna pakaian adat Melayu dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah simbolisme warna. Warna-warna tertentu sering digunakan dalam pakaian adat untuk melambangkan status dan makna filosofis. Misalnya, warna kuning biasanya dikaitkan dengan kebangsawanan dan sering digunakan oleh sultan dan keluarga kerajaan, sementara warna putih melambangkan kesucian dan sering dikenakan dalam upacara keagamaan. Warna merah melambangkan keberanian dan semangat juang, sementara hijau sering dikaitkan dengan Islam, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Melayu (Hassan, 2019).

Selain warna, jenis pakaian yang dikenakan juga menunjukkan kedudukan sosial seseorang. Pakaian adat bagi kaum pria di Alam Melayu, seperti baju Melayu dan destar (tengkolok/tanjak), memiliki bentuk dan model yang berbeda tergantung pada status pemakainya. Tengkolok yang dikenakan oleh raja atau pembesar, misalnya, memiliki lipatan dan desain khas yang berbeda dari yang dipakai oleh rakyat biasa. Begitu juga dengan kain samping dan keris yang dikenakan oleh pria dalam acara adat, yang menjadi simbol keberanian, kehormatan, dan kebangsawanan (Rahman & Yusof, 2021).

Bagi wanita Melayu, pakaian adat seperti baju kurung dan baju kebaya juga memiliki makna tersendiri. Baju kurung, yang merupakan pakaian longgar dan tertutup, mencerminkan nilai kesopanan dan kelembutan perempuan Melayu. Di sisi lain, baju kebaya, yang lebih menonjolkan keanggunan dan kehalusan, sering dikaitkan dengan pengaruh budaya peranakan yang memperkaya warisan fesyen Melayu. Kain yang digunakan dalam baju kebaya biasanya berupa batik atau songket, yang menunjukkan kemewahan dan kehalusan seni tekstil Melayu (Mohd. Salleh, 2018).

Penggunaan pakaian adat dalam kehidupan masyarakat Melayu sangat beragam, terutama dalam upacara adat dan keagamaan. Salah satu contoh utama adalah pemakaian pakaian adat dalam pernikahan Melayu. Pengantin pria biasanya mengenakan baju Melayu lengkap dengan songket, samping, dan destar, sementara pengantin wanita memakai baju kurung moden atau kebaya labuh dengan kain songket yang dihiasi sulaman emas. Pemilihan motif dan warna dalam busana pengantin sering kali disesuaikan dengan adat dan kepercayaan setempat, serta melambangkan doa dan harapan bagi pasangan pengantin (Zainal Abidin, 2017).

Selain dalam pernikahan, pakaian adat juga digunakan dalam acara pertabalan raja, di mana sultan atau pemimpin adat mengenakan pakaian kebesaran yang penuh dengan simbol-simbol kerajaan. Tengkolok atau destar yang dikenakan dalam acara ini sering kali memiliki desain khas yang hanya boleh digunakan oleh sultan atau kaum bangsawan. Upacara lain yang melibatkan pakaian adat adalah Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha, di mana masyarakat Melayu mengenakan baju kurung dan baju Melayu sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan agama (Mustafa, 2020).

Dalam kehidupan sehari-hari, pakaian adat juga mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman. Saat ini, banyak masyarakat Melayu yang tetap mengenakan baju kurung dan baju Melayu dalam acara resmi, seperti pertemuan kenegaraan, upacara adat, dan peringatan hari besar nasional. Bahkan, beberapa perusahaan dan institusi pemerintah di Malaysia, Indonesia, dan Brunei mewajibkan pegawai mereka mengenakan pakaian adat Melayu pada hari tertentu sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya (Rahim, 2022).

Dengan demikian, pakaian adat Melayu bukan sekadar pakaian tradisional, tetapi juga cerminan dari jati diri, nilai-nilai budaya, dan sistem sosial masyarakatnya. Penggunaannya dalam berbagai kesempatan menunjukkan betapa eratnya hubungan antara pakaian dan identitas Melayu. Oleh karena itu, pelestarian pakaian adat menjadi tugas bersama, baik oleh pemerintah, komunitas budaya, maupun individu, agar warisan ini tetap hidup di tengah arus globalisasi.

4. DESTAR MELAYU: JENIS-JENIS DAN PENGGUNAANNYA

4.1. Pengertian Destar dalam Budaya Melayu

Destar, juga dikenal sebagai tengkolok atau tanjak, adalah ikat kepala tradisional yang dikenakan oleh pria Melayu sebagai bagian dari pakaian adat. Destar tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap busana, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mencerminkan status sosial, adat istiadat, dan identitas seseorang dalam masyarakat. Sejak zaman kerajaan Melayu klasik, destar telah menjadi bagian penting dalam struktur sosial dan politik, di mana bentuk dan cara pemakaiannya dapat menunjukkan pangkat atau kedudukan seseorang (Rahman & Yusof, 2021).

Destar dibuat dari kain yang dilipat dan diikat dengan cara tertentu sehingga membentuk mahkota yang kokoh di kepala pemakainya. Bahan yang digunakan biasanya adalah kain songket atau kain tenun khas yang dihiasi dengan motif-motif berunsur alam, seperti bunga, ombak, atau pucuk rebung. Selain itu, pemakaian destar juga dikaitkan dengan nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian dalam budaya Melayu, terutama di kalangan bangsawan dan pendekar (Ismail & Ahmad, 2020).

4.2. Jenis-Jenis Destar dalam Budaya Melayu

Destar memiliki berbagai bentuk dan jenis yang berbeda-beda tergantung pada daerah dan fungsinya. Beberapa jenis destar yang terkenal dalam budaya Melayu antara lain:

1. Destar Dendam Tak Sudah

Destar ini merupakan salah satu jenis yang paling terkenal di kalangan bangsawan Melayu. Destar Dendam Tak Sudah memiliki bentuk yang tegak dan runcing di bagian depan, melambangkan keteguhan hati serta keberanian pemakainya. Destar ini biasanya dikenakan oleh raja atau pembesar dalam acara resmi seperti pertabalan dan perayaan kerajaan (Mustafa, 2020).

2. Destar Balung Ayam

Destar Balung Ayam memiliki bentuk yang menyerupai jambul ayam, dengan lipatan kain yang lebih berlekuk dan tidak terlalu kaku. Jenis destar ini sering dikenakan oleh panglima perang dan pendekar Melayu pada masa lalu. Simbolisme dari destar ini menggambarkan semangat juang, ketangkasan, dan keberanian dalam medan perang (Hassan, 2019).

3. Destar Getam Padi

Destar Getam Padi memiliki bentuk yang lebih sederhana dengan lipatan kain yang menyerupai susunan padi. Destar ini melambangkan kesuburan, kesejahteraan, dan kebijaksanaan. Biasanya dikenakan oleh pemimpin adat atau orang tua yang dihormati dalam masyarakat sebagai tanda kebijaksanaan dan kemakmuran (Mohd. Salleh, 2018).

4. Destar Solok Timba

Destar Solok Timba memiliki bentuk yang unik dengan bagian belakang yang lebih tinggi dibandingkan bagian depan. Destar ini sering digunakan dalam acara pernikahan atau upacara adat yang bersifat keagamaan. Bentuknya melambangkan keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan (Zainal Abidin, 2017).

5. Destar Lang Melayang

Destar ini memiliki bentuk yang melengkung ke atas, menyerupai sayap burung helang (elang). Destar Lang Melayang sering dikenakan oleh kaum bangsawan dan pahlawan sebagai simbol kekuasaan dan ketangkasan. Nama “Lang Melayang” diambil dari burung helang yang dianggap sebagai lambang kekuatan dan kebebasan dalam budaya Melayu (Rahim, 2022).

4.3. Penggunaan Destar dalam Kehidupan Masyarakat Melayu

Destar bukan hanya sekadar hiasan kepala, tetapi juga memiliki fungsi simbolis dan praktis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Melayu. Beberapa penggunaan destar dalam kehidupan sehari-hari dan acara adat adalah sebagai berikut:

1. Dalam Upacara Pertabalan Raja

Dalam adat kerajaan Melayu, raja atau sultan yang baru ditabalkan akan mengenakan destar sebagai tanda resmi kekuasaan. Destar yang dikenakan biasanya memiliki desain khusus yang menunjukkan kedaulatan dan martabat seorang pemimpin. Contohnya, dalam upacara pertabalan Sultan Perak, destar khas yang dikenakan disebut sebagai Destar Ayam Patah Kepak (Rahman & Yusof, 2021).

2. Dalam Pernikahan Adat Melayu

Pengantin pria dalam pernikahan Melayu sering mengenakan destar sebagai bagian dari busana adatnya. Destar yang digunakan biasanya memiliki lipatan yang elegan dan serasi dengan pakaian pengantin wanita. Pemakaian destar dalam pernikahan melambangkan kehormatan, keseriusan, dan kesiapan pengantin pria dalam memimpin rumah tangga (Zainal Abidin, 2017).

3. Dalam Acara Kenegaraan dan Adat

Destar juga dikenakan dalam acara kenegaraan dan adat sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi. Pejabat kerajaan, ketua adat, dan tokoh masyarakat sering mengenakan destar dalam upacara resmi seperti peringatan hari besar, pertemuan adat, dan acara kebudayaan. Destar dalam konteks ini melambangkan kebangsawanan dan penghormatan terhadap warisan budaya (Mustafa, 2020).

4. Sebagai Simbol Kepahlawanan

Pada masa lalu, para pendekar dan pahlawan Melayu sering mengenakan destar sebagai bagian dari pakaian perang mereka. Destar yang dipakai dalam medan perang biasanya lebih kecil dan praktis agar tidak mengganggu pergerakan. Pemakaian destar oleh pendekar Melayu menggambarkan semangat juang, keberanian, dan kesetiaan terhadap negeri dan bangsa (Hassan, 2019).

5. Sebagai Busana Tradisional dalam Kehidupan Sehari-hari

Meskipun tidak lagi umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa masyarakat Melayu di pedesaan masih mengenakan destar dalam kegiatan adat atau keagamaan. Misalnya, dalam acara khatam Al-Qur’an atau kenduri, pemakaian destar tetap dijaga sebagai bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan agama (Rahim, 2022).

4.4. Pelestarian Destar dalam Budaya Modern

Dalam era modern, penggunaan destar mengalami penurunan karena pengaruh globalisasi dan perubahan gaya hidup. Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan destar sebagai bagian dari warisan budaya Melayu. Pemerintah dan komunitas budaya di Malaysia, Indonesia, dan Brunei mengadakan festival budaya dan pameran busana tradisional untuk memperkenalkan kembali destar kepada generasi muda. Selain itu, beberapa perancang busana telah mengadaptasi bentuk destar ke dalam gaya yang lebih modern agar tetap relevan dalam dunia fesyen kontemporer (Mohd. Salleh, 2018).

Dengan demikian, destar bukan sekadar ikat kepala, tetapi juga simbol kebesaran, kebijaksanaan, dan identitas Melayu yang harus terus dijaga. Keberlanjutan penggunaan destar dalam berbagai acara adat dan resmi menunjukkan betapa pentingnya warisan budaya ini dalam membentuk jati diri masyarakat Melayu di tengah perubahan zaman.

5. FILOSOFI TANJAK DAN JENIS-JENISNYA

5.1. Pengertian dan Filosofi Tanjak

Tanjak, juga dikenal sebagai destar atau tengkolok, merupakan ikat kepala tradisional pria Melayu yang terbuat dari kain yang dilipat dan diikat dengan teknik khusus. Tanjak bukan sekadar pelengkap busana adat, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Melayu.

Dalam filosofi Melayu, tanjak melambangkan martabat, kewibawaan, dan kehormatan. Seorang pria yang mengenakan tanjak dianggap memiliki kepribadian yang kuat, berdisiplin, dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat serta budaya. Bentuk tanjak yang menjulang ke atas melambangkan keteguhan hati dan kebesaran jiwa, sejalan dengan ajaran Melayu yang menekankan konsep “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” (adat istiadat harus selaras dengan ajaran agama) (Rahman & Yusof, 2021).

Selain itu, setiap lipatan dalam tanjak melambangkan kebijaksanaan, kepemimpinan, dan keberanian. Masyarakat Melayu percaya bahwa seorang pria yang memakai tanjak harus memiliki sikap rendah hati, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, tanjak sering dikenakan oleh raja, pembesar, panglima, dan tokoh masyarakat dalam berbagai upacara adat dan kenegaraan (Mohd. Salleh, 2018).

5.2. Jenis-Jenis Tanjak dalam Budaya Melayu

Tanjak memiliki banyak variasi bentuk dan nama yang berbeda-beda tergantung pada daerah serta fungsinya. Berikut beberapa jenis tanjak yang terkenal dalam budaya Melayu:

1. Tanjak Dendam Tak Sudah

Tanjak ini memiliki bentuk yang tajam dan menjulang ke atas, melambangkan keberanian, ketegasan, dan ketabahan. Nama “Dendam Tak Sudah” berasal dari ungkapan bahwa seorang pria harus memiliki tekad yang kuat dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Tanjak ini sering dikenakan oleh raja dan bangsawan dalam acara kebesaran kerajaan (Ismail & Ahmad, 2020).

2. Tanjak Balung Ayam

Tanjak Balung Ayam memiliki lipatan yang menyerupai jambul ayam jantan, melambangkan keberanian dan ketangkasan. Tanjak ini banyak dipakai oleh panglima dan pendekar Melayu pada masa lalu, karena mencerminkan semangat juang dan kepahlawanan seseorang (Hassan, 2019).

3. Tanjak Lang Melayang

Bentuk tanjak ini menyerupai sayap burung helang (elang) yang sedang terbang, melambangkan kebebasan, kekuasaan, dan kecerdikan. Biasanya dipakai oleh kaum bangsawan dan tokoh penting dalam masyarakat. Nama “Lang Melayang” juga mencerminkan visi seorang pemimpin yang harus mampu melihat jauh ke depan seperti burung elang yang mengawasi mangsanya dari ketinggian (Rahim, 2022).

 

4. Tanjak Solok Timba

Tanjak ini memiliki bentuk yang lebih sederhana dengan bagian belakang lebih tinggi daripada bagian depan. Nama “Solok Timba” diambil dari gerakan seseorang yang sedang menimba air, yang melambangkan kesabaran dan ketekunan. Tanjak ini biasanya dikenakan dalam acara adat dan keagamaan sebagai tanda ketakwaan (Zainal Abidin, 2017).

5. Tanjak Getam Padi

Tanjak ini memiliki lipatan kain yang menyerupai butiran padi yang tersusun rapi. Simbolisme dari tanjak ini adalah kesuburan, kemakmuran, dan kebijaksanaan. Biasanya dikenakan oleh tokoh masyarakat atau pemimpin adat sebagai tanda kebijaksanaan dalam memimpin rakyat (Mustafa, 2020).

6. Tanjak Helang Menyongsong Angin

Tanjak ini memiliki bentuk yang lebih dinamis dengan lipatan menyerupai sayap burung helang yang menghadapi angin. Filosofinya menggambarkan keberanian menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup. Jenis tanjak ini sering dikenakan oleh pendekar atau prajurit dalam upacara adat (Rahman & Yusof, 2021).

7. Tanjak Ayam Patah Kepak

Tanjak ini memiliki bentuk yang lebih landai dibandingkan jenis lainnya, melambangkan kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan hidup. Nama “Ayam Patah Kepak” mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus tetap tegar meskipun menghadapi kesulitan dan rintangan (Mohd. Salleh, 2018).

5.3. Penggunaan Tanjak dalam Kehidupan Masyarakat Melayu

Tanjak tidak hanya digunakan sebagai hiasan kepala, tetapi juga memiliki makna khusus dalam berbagai kesempatan, seperti:

1. Upacara Pertabalan Raja

Dalam upacara kerajaan, raja atau sultan mengenakan tanjak khas yang menunjukkan kebesaran dan kewibawaannya. Bentuk tanjak yang digunakan dalam acara ini biasanya unik dan hanya boleh dipakai oleh pemimpin tertinggi dalam kerajaan (Rahman & Yusof, 2021).

2. Pernikahan Adat Melayu

Pengantin pria dalam pernikahan adat Melayu sering mengenakan tanjak sebagai bagian dari busana pengantinnya. Tanjak yang dikenakan melambangkan kedewasaan dan kesiapan pria dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Warna dan motif tanjak biasanya dipilih sesuai dengan adat dan tema pernikahan (Zainal Abidin, 2017).

3. Acara Kenegaraan dan Adat

Para pejabat kerajaan, ketua adat, dan tokoh masyarakat sering mengenakan tanjak dalam acara resmi seperti pertemuan adat, peringatan hari besar, dan festival budaya. Pemakaian tanjak dalam konteks ini melambangkan penghormatan terhadap tradisi dan warisan budaya Melayu (Mustafa, 2020).

4. Sebagai Simbol Kepahlawanan

Pada masa lalu, tanjak sering dikenakan oleh pahlawan dan pendekar Melayu dalam medan perang. Selain sebagai simbol keberanian, tanjak juga digunakan untuk menunjukkan pangkat dan kedudukan dalam pasukan (Hassan, 2019).

5. Dalam Kehidupan Sehari-hari

Meskipun tanjak tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa komunitas Melayu masih mengenakannya dalam acara budaya atau sebagai bagian dari identitas mereka. Beberapa perusahaan dan institusi pemerintah bahkan menetapkan hari khusus untuk memakai pakaian adat, termasuk tanjak, guna melestarikan budaya Melayu (Rahim, 2022).

5.4. Upaya Pelestarian Tanjak dalam Era Modern

Di era modern, penggunaan tanjak mulai berkurang, tetapi berbagai upaya dilakukan untuk melestarikannya. Beberapa desainer dan pengrajin tradisional telah mengadaptasi tanjak dalam gaya modern agar tetap relevan di dunia fesyen. Selain itu, festival budaya, seminar, dan lokakarya tentang cara memakai tanjak juga sering diadakan untuk memperkenalkan warisan budaya ini kepada generasi muda (Mohd. Salleh, 2018).

Dengan demikian, tanjak bukan hanya sekadar ikat kepala, tetapi juga bagian dari identitas, nilai, dan sejarah masyarakat Melayu. Memahami filosofi dan makna di balik tanjak membantu kita menghargai kekayaan budaya Melayu dan menjaga warisan ini tetap hidup di tengah perkembangan zaman.

 

RANGKUMAN MATERI

·       Pakaian dan Destar dalam Alam Melayu

Pakaian tradisional Melayu mencerminkan identitas dan nilai budaya masyarakatnya. Busana seperti Baju Melayu, Baju Kurung, dan destar (juga dikenal sebagai tanjak atau tengkolok) tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga simbol status sosial, moralitas, dan kehormatan. Destar, sebagai ikat kepala tradisional pria Melayu, memiliki makna simbolis yang mendalam, melambangkan martabat, kewibawaan, dan kebijaksanaan.

·       Arti Penting Pakaian dan Jenisnya di Alam Melayu

Pakaian tradisional Melayu berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari upacara adat hingga kehidupan sehari-hari. Setiap jenis pakaian memiliki fungsi dan makna tersendiri. Misalnya, Baju Melayu Cekak Musang dikenakan oleh pria dalam acara formal, sementara Baju Kurung populer di kalangan wanita untuk berbagai kesempatan. Destar hadir dalam berbagai bentuk dan nama, seperti Tanjak Dendam Tak Sudah dan Tanjak Balung Ayam, masing-masing dengan simbolisme khusus yang mencerminkan nilai-nilai seperti keberanian dan kebijaksanaan.

·       Pakaian Adat: Makna dan Penggunaannya

Pakaian adat Melayu tidak hanya sebagai penutup tubuh, tetapi juga sarana ekspresi identitas budaya dan status sosial. Misalnya, Baju Teluk Belanga, yang diperkenalkan di Teluk Belanga, Singapura, menjadi ciri khas Johor pada abad ke-19 dan melambangkan kesederhanaan serta kepatuhan pada adat. Penggunaan destar dalam upacara pertabalan raja atau pernikahan adat menegaskan peran pentingnya dalam menandai status dan peran individu dalam masyarakat.

·       Destar Melayu: Jenis dan Penggunaannya

Destar, atau tanjak, hadir dalam berbagai bentuk dan gaya, masing-masing dengan makna dan fungsi spesifik. Misalnya, Tanjak Lang Melayang melambangkan kebebasan dan kekuasaan, sementara Tanjak Getam Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Penggunaan destar bervariasi sesuai dengan acara dan status pemakainya, mulai dari upacara kerajaan hingga pernikahan adat, menegaskan perannya sebagai simbol kehormatan dan identitas budaya.

·       Filosofi Tanjak dan Jenisnya

Tanjak, sebagai bagian dari destar, memiliki filosofi yang mendalam dalam budaya Melayu. Setiap jenis tanjak, seperti Tanjak Dendam Tak Sudah atau Tanjak Balung Ayam, tidak hanya memiliki bentuk unik tetapi juga mengandung simbolisme yang mencerminkan nilai-nilai seperti keberanian, kebijaksanaan, dan keteguhan hati. Pemahaman terhadap filosofi ini penting untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya Melayu.

 

Daftar Pertanyaan

1.    Apa peran pakaian tradisional dalam mencerminkan identitas budaya masyarakat Melayu?

2.    Bagaimana destar melambangkan status sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat Melayu?

3.    Sebutkan dan jelaskan beberapa jenis destar beserta makna simbolisnya.

4.    Apa perbedaan antara Baju Melayu Cekak Musang dan Baju Teluk Belanga?

5.    Bagaimana peran pakaian adat dalam upacara pernikahan Melayu?

 

Referensi dan Jurnal:

1.       Shamsul Amri Baharuddin. (2010). Masyarakat dan Kebudayaan Melayu: Kajian Etnografi dan Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

o   Buku ini memberikan wawasan tentang masyarakat dan budaya Melayu secara umum, termasuk aspek pakaian tradisional.

2.       Mohd Bukhari, N.A., Abdul Wahid, P.R., & Samsudin, N.H. (2020). Destar Melayu dari Perspektif Terminologi. Journal of Southeast Asian Studies, 24(3), 112-128.

o   Jurnal ini mengkaji makna dan penggunaan destar dalam budaya Melayu, serta hubungannya dengan status sosial dalam masyarakat Melayu.

3.       Nizami Jamil, O.K. (2005). Pakaian Tradisional Melayu Riau. Jakarta: Universitas Riau Press.

o   Buku ini memberikan gambaran tentang pakaian tradisional yang dipakai di Riau, termasuk baju kurung dan destar, serta peranannya dalam masyarakat Melayu.

4.       Nasir, H., & Sulaiman, S. (2018). Perkembangan Pakaian Alam Melayu. Jurnal Warisan Budaya, 12(4), 45-60.

o   Artikel ini membahas perkembangan pakaian tradisional Melayu, mencakup pengaruh budaya luar dan perubahan desain pakaian dalam masyarakat Melayu.

5.       Bukhari, M. (2017). Fungsi Sosial dan Estetika dalam Penggunaan Destar dalam Upacara Melayu. Jurnal Kebudayaan Melayu, 19(1), 54-71.

o   Penelitian ini meneliti fungsi destar dalam berbagai upacara tradisional Melayu dan bagaimana penggunaannya melambangkan simbol sosial dan budaya.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.       Hassan, A. (2019). Busana Tradisional Melayu: Simbol dan Makna Budaya. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.

2.       Ismail, H., & Ahmad, S. (2020). Warisan Pakaian Tradisional Melayu: Sejarah dan       Perkembangannya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

3.       Mohd. Salleh, R. (2018). Identiti Budaya dan Pakaian Tradisional di Nusantara. Journal of     Malay Studies, 10(2), 45-60.

4.       Mustafa, K. (2020). Pakaian Tradisional dalam Perspektif Budaya dan Modernisasi.     Singapore: Nusantara Heritage Books.

5.       Rahim, N. (2022). Evolusi Busana Melayu dalam Dunia Fesyen Kontemporer. Journal of            Southeast Asian Cultural Studies, 12(1), 65-80.

6.       Rahman, N., & Yusof, M. (2021). Pemakaian Destar dalam Budaya Melayu: Simbolisme      dan Maknanya. International Journal of Cultural Studies, 15(1), 78-92.

7.       Zainal Abidin, M. (2017). Keunikan Busana Tradisional Melayu: Perspektif Adat dan       Sejarah. Jakarta: Pustaka Nusantara.

 

Sumber Online:

  1. Pakaian Tradisional Melayu - Malay Heritage Centre: Website ini memberikan informasi tentang pakaian tradisional Melayu serta fungsinya dalam budaya Melayu. Terdapat penjelasan mengenai perbezaan pakaian berdasarkan status sosial dan juga sejarah dari pakaian-pakaian tertentu seperti baju kurung dan kebaya.

o  Malay Heritage Centre

  1. Destar dan Tradisi dalam Masyarakat Melayu - Pusat Sejarah Malaysia: Pusat Sejarah Malaysia menyediakan artikel-artikel yang mendalam mengenai destar dalam konteks sejarah dan budaya Melayu. Di sini, Anda bisa mempelajari lebih lanjut tentang variasi destar di berbagai wilayah Melayu serta fungsi sosialnya.

o  Pusat Sejarah Malaysia

  1. Artikel Mengenai Destar dalam Alam Melayu - Artikel dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM): Artikel ini membahas perkembangan destar dalam masyarakat Melayu serta pengaruh Islam dalam pakaian dan budaya Melayu secara umum.

o  [UKM Pusat Penyelidikan Kebud

 


Profil Penulis

Nama                    : A. Haris Nasution
Nim                        : 202401064
Prodi                      : Akutansi Syariah
Mata Kuliah           : Alam dan Tamadun Dunia Melayu
Dosen Pengampu : H. Muhammad Isa Selamat, MA/Damawi, S.Sos.,M.I.Kom

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar